Sabtu, 11 Desember 2010

Biografi Denny Sumargo - Bagian 2





KAMI PINDAH KE JAKARTA

Setelah mengambil saya dengan sembunyi-sembunyi, ibu langsung membawa saya ke Jakarta. Saya begitu bahagia ketika untuk pertama kalinya saya naik pesawat terbang, saya sampai melupakan tante Ana dan suaminya yang begitu baik pada saya karena saya pikir berada diatas langit dan memandang awan adalah pengalaman hebat dalam hidup saya. Ibu memeluk saya sepanjang perjalanan di dalam pesawat, saya tidak banyak bertanya dan tertidur hingga tanpa sadar ketika terbangun saya sudah ada di Jakarta.

Jakarta kota yang megah dibanding dengan kota tempat saya tinggal, saya takjub dengan gedung-gedung pencakar langit yang tidak saya temukan di kampung halaman saya ada disini. Ibu mengontrak sebuah rumah kecil disebuah perkampungan di deket daerah Kemayoran, rumah kami sangat sederhana dan hanya beralaskan papan triplex yang kondisinya sangat tidak layak. Kami tinggal di daerah kampung disekitar rawa-rawa, masyarakat disini kebanyakan adalah para pekerja buruh dan beberapa pedagang pasar atau keliling sehingga tidak heran kami adalah satu-satunya warga keturunan yang bermukim disini, buruknya rumah kami sampai-sampai kami harus menaruh ember setiap hujan karena atap rumah kami bocor.


Saya masih berusia enam tahun di kala itu, sebenarnya ibu ingin sekali memasukan saya ke sekolah taman kanak-kanak tapi ia tidak memiliki cukup uang karena pada saat itu uang kami hanya cukup untuk hidup pas-pasan. Tapi ibu tidak ingin menyerah begitu saja melihat saya yang sudah seharusnya duduk di taman kanak-kanak agar pintar. Ibu pun bertindak sebagai guru saya, ia memberikan saya sebuah buku bacaan, pensil dan penghapus sebagai alat belajar saya. Masa itu bila saya ingat, ibu sangat tegas dan tidak tanggung-tanggung akan memukul saya dengan sapu lidi bila tidak berhasil memasukkan pelajaran yang ia ajarkan ke otak saya. Hampir selama setahun saya belajar bersama ibu hingga saya pun dapat menulis dan membaca walaupun tidak masuk sekolah taman kanak-kanak.

Ibu adalah wanita gigih dan tangguh, ia tidak pernah mengeluh pada keadaan apapun. Ia selalu berjuang menyisihkan setiap keuntungan dari berdagang pakaian untuk bekal saya sekolah dasar, bisa saya bayangkan bertapa beratnya ia memikul baju dalam kalung kemudian membawanya dari satu tempat ke tempat lain tanpa pernah merasa lelah. Di pagi hari ia berangkat berjualan setelah memberikan saya makan pagi kemudian menyiapkan beberapa tugas pelajaran untuk saya kerjakan sambil menunggu dia pulang, ia mengunci rapat rumah sehingga saya tidak bisa keluar dan harus menunggu ia pulang. Sore hari ketika ia pulang berjualan, saya selalu senang menyambut ibu karena ia selalu membawa makanan yang enak karena perut saya lapar dan ibu menyadari itu. Tetapi saya juga sering cemas bila hujan besar turun dan ibu belum juga pulang, saya tak tega membayangkan ibu saya kehujanan di jalan dan tidak bisa berteduh.

hari-hari indah saya hanya pada saat ibu sudah pulang ke rumah karena ia akan memperbolehkan saya bermain di luar bersama teman-teman tetangga saya yang sering mengajak saya bermain di rawa-rawa sekitar rumah saya. Banyak hal yang bisa saya lakukan ketika bermain di sekitar permukiman saya, terutama bermain layang-layang dan menyelam di rawa rawa untuk bermain air sembari mencari ikan Cupang kesukaan saya. Pernah saya pulang terlambat dari batas waktu jam saya bermain dengan keadaan kotor karena terjatuh di rawa-rawa dan ibu sangat marah.ia menjadi semakin marah ketika saya salah mengerjakan tugas pelajaran yang ia berikan hingga Ia memukul saya dengan keras hingga saya berteriak-teriak minta ampun, saya benci ibu saat itu karena tega memukul saya.

Setelah tangisan saya mulai meredup ibu mendekat dan mengoleskan memar dan luka kaki saya dengan obat seadanya. Ia bertanya pada saya

” Sakit.. Nin ?” tanya ibu memanggilku Nin sebagai panggilan singkatnya.

saya diam dan mengangguk

” Masih mau telat pulang lagi?”

” Nggak lagi ” jawabku

” Masih mau asal-asalan mengerjakan tugas pelajaran lagi?”

Saya terdiam dan memang benar sejak saya memiliki hobi menangkap ikan cupang, saya mulai malas untuk mengerjakan tugas dari ibu dan hanya berpikir untuk cepat-cepat bermain. Ibu memeluk saya dengan hangat, saya melihat kaki saya yang penuh luka dengan sedih. Saya jadi heran untuk apa ibu merawat kaki saya setelah dia yang menyebabkan luka ini. Kemudian ibu melepas pakaian saya yang kotor dan berjalan dengan sedikit pincang, saya pun tersadar bahwa luka di kaki saya tidak sebanding dengan perjuangan ibu untuk mengajarkan saya tentang kedisplinan dan perjuangan untuk membuat saya menjadi anak yang pintar.Jika saya perhatikan kaki ibu, kakinya memiliki kulit mati dan kapalan yang banyak karena berjalan beratus-ratus Km untuk mencarikan nasi yang saya makan setiap harinya.

Setelah saya mandi lalu memakai pakaian yang bersih ibu memberikan saya makan malam dan mengatakan satu hal yang tidak akan saya lupakan dalam hidup saya.

” Untuk menjadi orang besar, kamu harus menjadi pintar dan displin. Jangan pernah kamu lupa akan tanggung jawab kamu, terlebih terhadap pekerjaan yang harus kamu kerjakan. “

Dan saya pun bertekad sejak saat itu untuk belajar dan disiplin agar bisa menjadi orang besar, ibu adalah guru terbaik dalam hidup saya. Apalagi ibu sudah mempersiapkan saya untuk duduk di sekolah dasar sebentar lagi menunggu usia saya genap tujuh tahun.

Ibu kembali ke Makassar

Saat saya mulai berumur Tujuh tahun dan siap untuk duduk di sekolah dasar, ibu memutuskan untuk kembali ke Makassar karena merasa berdagang di Makassar lebih menguntungkan ketiban di Jakarta. Tetapi dia tidak mau saya kembali ke Makassar mengingat kasus tante Ana bisa saja terulang dan menitipkan saya pada adik kandungnya yang tinggal di Jakarta. Adik ibu saya itu menikah dengan teman ibu yang kaya raya karena ibu yang menjodohkan mereka. Ia sudah memiliki anak perempuan bernama Meisy berumur 1 tahun saat saya tinggal bersama keluarga itu. Tante tidak menolak permintan ibu menampung saya mengingat jasa ibu padanya.

Tapi pernikahan tante berjalan buruk dan retak, suaminya tidak lagi tinggal bersama dia sehingga nenek pun ikut pindah ke Jakarta dan hidup bersama tante. Saya di sekolahkan di sebuah sekolah negeri pagi 01 yang tidak jauh dari rumah tante saya yang besar dan elite di kawasan Muara karang. Orang lain akan melihat aneh bila saya bersekolah di negeri tapi memiliki rumah sebesar istana dengan taman yang luas. Padahal alasan saya bersekolah disana karena ibu tidak memiliki uang untuk memberikan sekolah swasta yang baik pada saya, lagipula ibu tidak ingin dibantu oleh siapapun tentang masa depan pendidikan saya.

Kalau saya kaji hidup saya,  masa sekolah dasar saya adalah masa paling menyedihkan yang bisa saya utarakan untuk dikenang. Di sekolah saya, saya hanya segelintir berkulit putih diantara pribumi yang dominan. Saya sering menjadi bahan celaan teman-teman saya karena mata saya yang sipit dan pendiam. Saya tidak memiliki teman di kelas dan duduk di baris belakang seorang diri tanpa ada yang mau bicara dengan saya. Ketika jam istirahat sekolah, saya harus bersembunyi di kelas karena bila saya keluar saya akan dipukuli oleh teman-teman yang tidak suka pada saya. Bukan hanya dari teman-teman sekelas tapi saya juga mengalami siksaan yang berat oleh kakak-kakak kelas saya yang tidak suka pada saya. Saya hanya bisa menangis tanpa tau harus mengadu kepada siapa, karena bila saya mengadu kepada guru saya, mereka akan membuat saya lebih menderita lagi.

Nenek sering marah dan memukul saya bila saya pulang dengan keadaan kusut dengan pakaian kotor. Saya ceritakan masalah saya di sekolah dan ia hanya bilang pada saya untuk tidak mencari masalah, padahal saya tidak pernah membuat masalah dengan siapapun di sekolah saya. Saya mengerti mengapa nenek marah karena dialah yang mencuci pakaian saya setiap harinya. Tante saya tidak lebih keras dari ibu saya, ia bukan orang yang suka mengunakan pembantu untuk mengurus rumah besarnya. Saya yang dikala itu masih berusia tujuh tahun harus terbiasa untuk mencuci piring, mengepel lantai dan mengunting rumput di taman hingga bersih setiap harinya.

Pekerjaan rumah itu harus saya kerjakan bila ingin makan, belum lagi saya harus membantu tante saya menjaga Meisy yang masih kecil. Walaupun saya memiliki perkerjaan segudang beratnya tapi saya boleh berbangga hati karena selalu meraih rangking 1 di kelas saya. Ibu sangat bangga kepada saya hingga selalu mengirimkan uang sebesar 10000 rupiah dan berbagai makanan kesukaan saya setiap bulannya. Saya tidak pernah mengeluh dan membantah setiap perintah tante saya terhadap perkerjaan yang ia jatuhkan kepada saya tetapi saya tetaplah bocah berusia tujuh tahun yang sedang belajar tentang masa anak anak yang indah sehingga terkadang saya menjadi nakal.

Kenakalan saya pada saat kecil itu merupakan hal-hal yang tidak disukai oleh tante dan nenek saya. Setiap pulang sekolah saya selalu mampir ke Supermarket Muara untuk membaca komik kesukaan saya semisal Dragon ball dan Kungfu boy. Penjaga supermarket itu sering melihat saya duduk sambil membaca komik tapi tidak pernah saya membeli hingga ia mendekati saya.

” Kamu mau beli komik ini?”
” Nggak Kak, saya cuma mau numpang baca aja”
” Disini harus beli kalau mau baca.. ga boleh baca disini..” ujar penjaga wanita itu sambil merebut komik dari tangan saya.
” Tapi saya ingin baca kak?”

Dengan jengkel penjaga itu berkata  ” Minta sama mama kamu buat beliin komik ini kalau mau baca?”

Saya jawab dengan apa adanya ” Mama saya di Makassar, saya tinggal sama tante saya. Tante saya nggak mungkin mau beliin saya komik itu!”

Lalu penjaga itu pun mengusir saya keluar dari supermaket. Saya sedih tapi tidak putus asa, keesokan harinya saya kembali untuk membaca buku komik itu hingga penjaga itu bosan mengusir saya yang keras kepala. Akhirnya ia pun memaklumi dan membiarkan saya membaca tapi dengan catatan buku itu tidak rusak dan lecek. Saya memang sangat suka membaca komik dan buku-buku pendidikan hingga terkadang tanpa sadar saya jadi sering terlambat pulang kerumah. Nenek yang sudah marah akan menyambut saya dengan sapu dan tanpa ragu membuat saya merasakan sakit luar biasa akibat pukulannya hingga jerah. Tapi saya memang nakal sehingga tante saya sering marah-marah karena harus mengganti sapu baru setiap bulannya karena patah untuk menghajar saya.

Tante saya tidak ringan tangan seperti nenek saya, ia hanya akan memukul saya bila membuat Meisy menangis. Saya pernah di kunci di kamar mandi karena tidak sengaja membuat Meisy terjatuh dari kursi karena kelalaian saya menjaganya. Saya sering menangis mendapatkan cobaan yang tidak pernah saya bayangkan dan ibu tidak pernah tau apa yang terjadi dalam hidup saya, karena ia sedang sibuk mencari uang demi masa depan saya yang lebih baik di Makassar. Tante saya tidak menyukai sifat saya yang rakus saat makan karena menggangap saya seperti orang kelaparan tapi sesungguhnya saya memang sedang masa pertumbuhan sehingga ingin selalu makan dan terus makan. Karena kesal ia sering menyembuyikan makanan dari saya sambil memperingatkan saya untuk tidak sekali sekali membuka lemari es dan lemari makanan.

Terkadang saya tidak mengindahkan apa yang ia katakan dan bila malam tiba saya mencuri makanan itu lalu membawanya ke kamar saya dan menyatapnya dengan lahap. Tapi saya selalu bernasib sial dan tertangkap hingga pada akhirnya saya selalu dipukul dan di kurung di kamar mandi. Kapok terhadap pukulan yang menyakitkan saya pun berpikir hal-hal yang tidak pernah saya bayangkan, saya mulai berani mencuri makanan di Supermarket dengan menyembunyikan makanan itu dibalik baju saya,  Karena merasa aman-aman saja, akhirnya saya menjadi keseringan berada di Supermarket dan membuat beberapa petugas curiga pada saya.

Suatu malam saya kelaparan dan memasuki Supermaket untuk mencuri Snack dan coklat, saya pikir saya akan bisa mencuri dengan aman tapi saya salah. Petugas supermarket menangkap basah saya mencuri, saya hanya bisa menangis memohon ampun untuk tidak di bawa ke kantor Polisi karena ketakutan. Mereka bertanya tempat tinggal saya kemudian membawa saya pulang ke rumah tante dan nenek, bisa dibayangkan bertapa marah dan malunya nenek dan tante terhadap kelakuan saya saat itu, Masalah selesai setelah tante bersedia membayar empat kali lipat dari harga toko. Ketika petugas itu pulang saya mendapatkan ganjalan yang tak akan pernah saya lupakan selamanya, Dua sapu kayu yang baru saja dibeli tante saya patah berantakan dan itu semua karena hanya untuk memukul saya.

Sampai saat ini saya masih tidak mengerti mengapa nenek dan tante saya bersikap keras terhadap saya, Nenek dan tante menghukum saya sangat berat karena kenakalan saya sudah melampaui batas padahal kalau saja mereka tidak menyembunyikan makanan dari saya, saya tidak akan pernah berpikir untuk mencuri. Saya tidak tau apakah ibu tau tentang sikap buruk saya ini tapi saya berharap dia tidak tau karena ibu akan sangat malu punya putra pencuri seperti saya.

Saya menjadi orang yang pendiam untuk jangka waktu yang panjang, terlalu banyak hal-hal yang membuat saya merasa takut dan cengeng semasa kecil. Sikap saya di sekolah juga tidak terlalu bergaul dengan teman-teman yang lain, mereka tau saya pintar karena selalu menjadi juara pertama di kelas tapi itu bukan hal penting selain melihat saya sebagai orang yang tidak pantas bersekolah di tempat seperti itu karena mata saya yang sipit. Empat tahun masa saya bersekolah disana banyak hal yang saya pelajari tentang dunia keras dan kekuasaan tapi saya tidak pernah dendam terhadap teman-teman saya, salah saya juga yang waktu itu diam saja dan mungkin mereka pikir saya konyol.
MENJADI KENEK SUPIR ANGKOT

Nenek tampaknya semakin kesal melihat ulah saya yang masih saja sering terlambat pulang sekolah hingga suatu hari saya pulang terlampau sore dan nenek sangat marah besar kepada saya  Padahal saya tidak melakukan tindakan-tindakan yang nakal, saya hanya pergi membaca buku di Supermarket dan pernah saya katakan itu kepada nenek, kontan saja ia marah karena berpikir saya akan mencuri lagi disana.

Saya sadar saya akan habis disemprot karena pulang terlalu sore sebab saya terlalu asyik membaca komik Kungfu boy. Saat saya pulang nenek sudah menunggu di gerbang dengan senjata sejatinya sapu kayu. Belum sampai ke rumah saya sudah menangis kencang karena ketakutan dan nenek menarik saya lalu menghajar kaki saya sembari berkata

“ Anak nakal.. sudah nenek bilang jangan terlambat pulang tapi kamu masih saja membandel.. “

Saya meminta ampun tapi itu dan menangis tapi itu tidak membuatnya mengasihani saya. Akhirnya saya diseret keluar rumah dan nenek mengusir saya.

“ Pergi kamu dari rumah ini. Jangan pernah kembali.. kalau kamu berani kembali nenek akan menghajar kamu sampai kamu mati”

Saya ketakutan dan pintu gerbang rumah tante saya terkunci sehingga saya hanya bisa diam diluar gerbang. Saya menangis memohon masuk tapi nenek tidak peduli, tante saya yang dirumah juga hanya diam saja melihat saya diusir dari rumah. Akhirnya saya berjalan meninggalkan rumah besar itu. Saya masih bingung hendak kemana tapi saya hanya berjalan sesuai naruli saya untuk berjalan tanpa berhenti.

Perut saya kelaparan dan saya berjalan melihat beberapa pedagang makanan dengan perut yang terus saja berbunyi.  Saya kapok mencuri dan tidak ingin lagi melakukan itu karena nenek bilang ia tidak akan pernah mau menyelamatkan saya kalau saya mencuri lagi. Akhirnya saya tahan rasa lapar saya terus menerus hingga hari semakin malam. Saya tidak ingat jam berapa saat itu tapi keadaan jalanan sangat sepi saya mendekati tempat sampah dan mencoba mencari makanan sisa yang bisa saya makan, sialnya saya tidak menemukan makanan sedikitpun.

Saya mencoba tidur di sebuah taman milik rumah besar yang terlihat nyaman, ketika saya tidur ribuan nyamuk menyerang saya hingga saya merasa terganggu, Akhirnya saya putuskan untuk berjalan lagi walaupun mata saya sudah sangat berat. Disebuah persimpangan jalan antara Muara karang dan Pantai indah kapuk saya berhenti melihat sebuah mobil angkot yang sedang memarkir tanpa seorang pun. Saya pun berpikir untuk tidur di dalam mobil angkot itu.

Awalnya saya bisa tidur dengan nyaman tapi tiba-tiba supir angkot itu datang, ia sangat marah dan menampar pipi saya hingga saya menangis.

“ Ngapain kamu disana.. mau mencuri ya?”
“ Nggak pak. Saya cuma mau numpang tidur..!!”
“ Bohong pasti kamu mau mencuri.. saya bawa kamu ke kantor Polisi?”
“ Ampun pak.. saya benar-benar ga bermaksud mencuri, saya hanya ngatuk dan ingin tidur disini.. sumpah pak..” ujar saya sambil menangis kencang.

Bapak supir itu kemudian mengecek uang yang ada di setir dan menemukan tidak ada yang saya curi. Ia melihat saya menangis dan ketakutan, akhirnya ia ibah dan merasa bersalah karena menuduh saya mencuri. Ia mendekati saya.

“ Kenapa kamu bisa disini..?”
“ Saya diusir sama nenek saya..!”
“ Rumah kamu dimana..!”
“ Di Muara karang..!”
“ Bapak anteri pulang ya..?”
“ Nggak mau. Nenek bilang kalau saya berani pulang saya akan dibuat mati..!”

Bapak itu menghela nafas dan tidak lagi menghendaki saya untuk pulang.

“ Ya sudah kalau emang ga mau pulang, kamu tidur aja disini.. kamu sudah makan?”
“ Belum pak..saya belum makan dari sore tadi..”
“ Bapak bellin indomie mau..?”

Saya begitu gilang mendengar kata makan dan menghapus air mata saya.
“ Mau .. mau..!!” ujar saya dengan semangat

Bapak itu kemudian membelikan saya indomie goreng dengan telur ceplok, saya melahap semua dengan cepat seperti orang yang sudah tidak makan selama setahun kata bapak itu. tapi memang kenyataannya perut saya sangat lapar dan ia pun menambah semangkok mie untuk saya. Setelah saya kenyang ia membiarkan saya tidur di mobil angkot merah miliknya, sedangkan ia tidur di depan dan berkata kepada saya sebelum tidur.

“ Besok kita pikirin mau apa ya.. sekarang uda malam kamu tidur aja..!”

Saya bisa tidur nyenyak malam itu karena kenyang dan keesokannya bapak itu menawarkan saya untuk menjadi keneknya, saya pikir tidak ada salahnya, toh saya tidak punya kegiatan apapun. Dua hari lamanya saya menghilang dari rumah dan berprofesi menjadi supir angkot jurusan Pluit sampe grogol, semua orang yang duduk di angkot memperhatikan saya dengan antusias karena sangat aneh untuk seorang anak muda berkulit putih dan sipit berkerja sebagai kenek angkot terlebih usia saya yang masih bocah ingusan.

Saya tidak pernah menyesal merasakan masa-masa saya menjadi angkot karena itu adalah pekerjaan pertama saya di dunia ini. Bapak itu sangat baik and bijaksana, ia memberika hasil kerja saya setimpal dengan apa yang saya lakukan. Saya mendapatkan makan yang bisa saya sukai semau saya dan uang saku untuk membeli apa saja yang saya sukai. Tidak banyak tapi saya puas dengan hasil keringat saya disaat itu.

Saya tidak tau bagaimana nenek bisa menemukan saya setelah dua hari menghilang dari rumah, saya pikir mungkin karena beberapa tetangga saya melihat saya di jalan secara tidak sengaja. Mereka menjemput saya untuk pulang, saya takut tapi bapak itu menguatkan hati saya untuk pulang karena tempat saya bukan dimobil angkot, tempat saya adalah di bangku sekolah untuk menimbah ilmu. Saya pun kembali dan nenek tidak memukul saya, ia hanya diam dan berpikir mungkin saya hebat karena bisa hidup seorang diri dua hari lamanya tanpa uang sepeserpun.

Sekali lagi hidup saya berjalan dengan sebuah pengalaman yang tidak akan pernah saya lupakan. Kerasnya hidup telah mengajarkan saya untuk semakin tegar menatap masa depan saya. Saya beruntung bertemu bapak yang baik hati yang bersedia mengajarkan saya arti bertahan hidup. Sekali lagi juga saya kehilangan orang baik yang mengajarkan saya akan kehidupan. Saya tidak pernah menyesal apa yang pernah saya lalui dalam hidup saya karena itu adalah hal hal yang membentuk saya seperti saat ini.


(Bersambung)
Source : http://lieagneshendra.blog.friendster.com/?p=2254

Tidak ada komentar:

Posting Komentar