Sabtu, 11 Desember 2010

Biografi Denny Sumargo - Bagian 1





Namaku Denny Sumargo.
Saya lahir di Sulawesi utara tepatnya di Luwuk Bangawi sebuah kawasan utara Sulawesi yang indah nan luas dengan pemandangan lautnya yang eksotis. Terlahir dengan nama Denny Sumargo adalah pemberian ibu saya yang bermargakan Sumargo tepatnya Meiske Sumargo. Hingga saat ini hal-hal yang paling indah dalam hidup saya selalu terlukis dengan baik ketika saya bersama ibu duduk disebuah pantai sambil menikmati es kelapa yang dingin dan hangat sambil menikmati terbenamnya matahari.
Sejak kecil saya terbiasa hidup mandiri dengan kebebasan dan saya juga sangat keras kepala, sifat itu diwariskan oleh ibu saya yang berwatak keras dan pekerja keras. Ibu terlahir dari sebuah keluarga yang kaya dan berkecukupan tapi ia hanya lulusan Sekolah Dasar, sifatnya yang tomboy dan selalu membuat saudara-saudaranya berjumlah tujuh orang itu mengatakan ibu gadis barbal walau demikian ibu terampil sekali menjahit dan menyalon. Ibu saya bercita-cita menjadi seorang Polisi Wanita, cita-cita itu tidak pernah tercapai dan mungkin saja ia berpikir demikian karena terinspirasi oleh kisah pahlawan Wonderwomen yang termasyur ketika ia kecil dulu kala.
Ayah saya adalah seorang angkatan laut yang jatuh cinta pada eksotika Luwuk Bangawi, ia berasal dari Padang, Sumatra barat dan bernama Nazzarudin. Tidak banyak hal yang saya ingat tetang sosok ayah saya itu, sebab sejak saya berada di dalam kandungan ibu, Mereka bercerai. Kisah cinta mereka yang indah berakhir tragis karena keduanya memiliki sifat berlawanan. Ibu yang masih berusia 20 tahun sangat berbanding terbalik dengan ayah saya yang berusia 40 saat mereka menikah. Usia yang terpaut begitu jauh tidak mengendurkan niat mereka untuk saling mencintai.
Tapi yang saya dengar, ayah saya sangat sabar dan suka menolong orang lain. Sedangkan ibu termasuk orang yang tidak mau menerima pemberian dan selalu berusaha mencari apa yang dia mau dengan kemampuannya. Ibu gadis muda yang cantik memiliki hobi bermain bulutangkis setiap berkumpul bersama teman-teman sebayanya. Di kala itu ayah saya memutuskan untuk menetap di Luwuk sembari membuka usaha penjualan barang antik yang warung lapaknya bersebelahan dengan lapangan bulutangkis milik seorang Warga keturunan.
Suatu ketika saat ayah sedang berdagang, dilihatnya gadis muda itu setiap bermain bulutangkis disekitar warungnya dan akhirnya ia jatuh cinta pada gadis berpotongan rambut pendek dan bermuka manis itu. Ayah yang jatuh cinta berusaha mencari tau tentang sosok ibu dan usahanya tidak sia-sia ketika ibu bersedia berkenalan dengannya lewat macoblang penjaga lapangan bulutangkis. Ketika itu ayah saya sudah menikah dan mempunyai empat anak hasil pernikahannya dengan tiga istri, ibu terkejut bukan main ketika ayah berkata ia sedang menghadapai proses perceraian. Karena tidak pernah terpikir olehnya berkenalan dengan duda apalagi menikahi duda.
Ternyata cinta itu memang buta, ibu yang tidak pernah berpikir akan menikahi seorang duda akhirnya bersedia juga menikah dengan ayah. Padahal perbedaan mereka sangat banyak, ibu saya adalah seorang gadis keturunan Tiong hua dan beragama Khatolik seperti penduduk Luwuk biasanya. Sedangkan ayah saya seorang muslim dan seorang pribumi tapi cinta itu membuat perbedaan itu hilang dan  mereka bersatu. Ibu yang sedang duduk di pantai setelah lelah bermain bulutangkis bersama teman-temannya kedatangan ayah secara mendadak.
“ Meiske maukah kau menikah dengan saya?” tanya ayah.
Ibu terdiam sejenak dan melihat pria ini tanpa alang-aling langsung mengajaknya menikah.
“ Saya pikir-pikir dulu..”
Ayah tertunduk lesu , ibu melihat sebuah cinta yang tulus tapi tidak langsung menerima cinta ayah. Ia melihat kesungguhan ayah yang tiada henti memberikan cintanya tanpa batas. Setiap hari ayah menanyakan hal yang sama hingga suatu ketika ibu mulai luluh dan menjawab pertanyaan ayah dengan syarat.
“ Baiklah saya akan menikah dengan kamu tapi pastikan kamu telah bercerai secara resmi.”

Ayah tersenyum lebar dan bahagia melihat ibu bersedia menikahinya. Di kala itu, ayah memang belum secara resmi bercerai dengan Istrinya tapi ia menguatkan hati ibu dan akhirnya statusnya menjadi lajang dengan surat perceraian yang ibu lihat dengan nafas turun karena keberanian ayah. Ketika keputusan pernikahan itu sudah bulat, ibu dan ayah menghadapi masalah besar ketika nenek dari pihak ibu saya menolak kedatangan ayah untuk melamar ibu.
Nenek saya sangat kolot dan masih berpikiran tentang pernikahan hanya bagi yang se-iman dan se-suku, tapi tidak dengan ibu saya yang berpandangan luas dan bebas. Diantara keempat putri yang ia lahirkan hanya ibu yang sering melawan dan bertengkar dengan nenek. Nenek sendiri bercerai dengan kakek sehingga ia mengalami sedikit gampang emosi karena kakek sangat sayang pada ibu saya. Saudara-saudara ibu yang  laki-laki berjumlah tiga orang terkejut ketika ibu membawa ayah, mereka  langsung berusaha mati-matian untuk menyadarkan ibu tentang pikirannya yang dinilai sudah rusak.
“ Astaga, Meiske. Kamu sudah gila ya?. Kamu mau menikah dengan seorang pria duda yang sudah menikah tiga kali dan parahnya dia itu berbeda agama dengan keluarga kita.” Ujar kakak laki-laki tertua itu dihadapan ibu dan ayah saya.
Nenek sepertinya sudah sangat marah ia langsung mengusir ayah saya dari rumah. Ibu menangis tak bisa berbuat apa-apa, ia mendapatkan tamparan keras dari nenek yang murka dan saudara-saudaranya berusaha memisahkan dengan membawa ibu ke kamar. Ayah yang sudah sangat jatuh cinta pada ibu tidak peduli dengan larangan nenek, ia terus berusaha menyakinkan ibu bahwa ia adalah pria yang layak menjadi suaminya.
Ibu yang keras kepala dan percaya terhadap dirinya akhirnya benar-benar nekad menikah dengan ayah. Kakek yang biasa mendukung ibu hanya memberikan dukungan dengan setengah hati, ia hanya menyarankan ibu untuk berpikir ulang. Ibu sadar pernikahannya dengan ayah akan membuat ia dimusuhi oleh semua saudara-saudaranya dan ia bertekad membuktikan kepada saudara-saudaranya pernikahan dengan ayah adalah kebenaran jalan hidupnya.

Ayah dan ibu bercerai
Masa pernikahan itu berjalan baik dan dilaksanakan disebuah rumah makan secara sederhana yang dihadiri oleh beberapa kerabat ibu dan ayah. Karena mereka berbeda agama maka pernikahan itu berjalan dua kali, pertama di Gereja sesuai agama yang dianut ibu dan di Mesjid sesuai agama ayah.  Ibu bersedih ketika pernikahannya itu tidak dihadiri oleh keluarga kandungnya sendiri, Kakek memang datang pada saat upacara di Gereja tapi itu pun dengan setengah hati. Tapi cinta yang indah itu tidak pundar walau harga dari semua itu adalah ibu kehilangan saudara-saudaranya.
Sebulan setelah pernikahan itu ibu mulai membantu ayah menjaga warung barang antiknya sedangkan ayah sering pulang untuk bertemu anak-anaknya dari lain ibu. Beban ayah sangat berat dikala itu, ia harus menanggung semua biaya hidup kakak-kakak tiri saya yang masih bersekolah. Ketika ibu sedang melayani tamu yang berkunjung ia merasa mual dan akhirnya jabang bayi berusia satu minggu itu menjadi tanda cintanya yang disambut ayah dengan bahagia.
Kebahagiaan yang indah menyambut kedatangan saya ke dunia ternyata tak seindah bayangan ibu, ibu mulai sering frustasi terhadap ayah yang sering tidak pulang ke rumah. Parahnya setiap pulang mereka selalu bertengkar hebat hingga ibu mengambil keputusan pahit yang sangat disesali oleh ayah, ia ingin bercerai dengan ayah. Ayah tidak ingin bercerai karena saat itu ia sadar saya masih di perut ibu dan ia khawatir dengan keputusan ibu.
Ntah alasan apa yang membuat ibu nekad berpisah dengan ayah, ia mengancam lebih baik ayah bercerai dengannya daripada ia kehilangan saya yang masih diperutnya.  Ayah mengalah dan mereka pun berpisah, ayah yang sangat sayang pada ibu kemudian memberikan semua harta dan rumah hasil pernikahan mereka menjadi milik ibu. Ibu saya yang naif dan gengsi menolak pemberian itu ia memutuskan untuk kabur begitu saja menginap di rumah teman bermainnya. Dan sejak itu saya tidak akan pernah tau siapa ayah saya hingga kelak saya menjadi dewasa.
Atas saran temannya, ibu pun memutuskan untuk kembali pada keluarganya.  Ibu rela menahan malu dan hinaan demi saya yang masih dalam perutnya. Ia rela melakukan apapun untuk membuat saya terlahir di dunia ini walaupun ia sadar setiap pasang mata keluarga ibu melihatnya sangat hina. Bahkan secara terang-terangan saudara-saudara ibu memaki ibu tanpa mengingat tali darah yang mengikat mereka.  Puncaknya ketika ibu sudah tidak tahan ia memutuskan pindah ke Makassar untuk hidup bersama Bibi saya sembari berharap kelahirkan saya dapat melunakkan hati nenek untuk memaafkan ibu.
Tanggal 11 Oktober 1981 dengan perjuangan berat ibu melahirkan saya dengan tangis kebahagiaan. Ia langsung mendapatkan nama Denny untuk memberikan nama pada saya, setelah itu Bibi menyarankan ibu saya  lebih baik ibu kembali ke nenek karena bisa saja nenek menjadi luluh dengan kelahiran saya. Ibu yang pada saat itu tidak bekerja tidak ingin merepotkan Bibi dan akhirnya memutuskan kembali ke rumah Nenek. Harapan nenek untuk luluh sirna, ia tidak tergoda sekalipun untuk berbaikan dengan ibu walau dengan kelahiran saya.
Nenek memang memberikan uang untuk keperluan saya selama masih bayi tapi itupun sepertinya dengan terpaksa. Cacian dan makian yang begitu dalam dan melukai hati ibu tidak hanya dari nenek saya tapi dari saudara-saudara kandungnya. Terkadang ketika ibu sudah tidak tahan akhirnya ia memutuskan untuk tinggal di rumah temannya, untungnya kakek saya masih bersedia memberikan uang untuk memberi susu. Ibu sadar ia tidak bisa selamanya berharap pada nenek saya, ia pun mempraktekan kemampuannya di bidang menjahit untuk mencari nafkah guna menghidupi saya.
Ia bekerja pada sebuah rumah konveksi di dekat rumah untuk menjaga jarak agar tidak terlalu jauh dari saya. Setiap jahitan yang melekat di pakaian ia menanamkan sebuah tekad untuk membuat saya menjadi orang berguna, tekadnya yang besar tidak hanya disimpan dalam hati. Bahkan ibu bekerja dua kali untuk hidup saya. Di pagi hari ia bekerja di konveksi kemudian di siang hari ia memberikan susu ASI kepada saya lalu kembali bekerja hingga sore. Setelah bekerja menjahit, ia bekerja malam di sebuah salon kencantikan sebagai tenaga bantu. Gajinya tidak besar tapi cukup untuk membuat saya tumbuh menjadi gemuk dan sehat.
Setelah melihat saya mulai bisa berjalan dan merangkak, ibu begitu bahagia namun tetap dalam keadaan tertekan oleh saudara-saudaranya.  Ayah yang mendengar kelahiran saya tidak mempunyai kesempatan untuk bertemu karena ibu tidak sudi mempertemukan kami. Ayah selalu menitipkan uang saku kepada sahabat ibu untuk diberikan sebagai uang keperluan saya, tapi ibu menolak dan malah membalikkan uang itu dengan tegas.
Saya masih ingat hal yang paling menyedihkan dalam hidup saya untuk mengenang ibu, di kala itu saat saya berusia empat tahun. Saya tertidur pulas dan ibu membangunkan saya dengan air mata berlinang yang membuat saya heran.  Dengan cepat ia mengangkat tubuh saya melewati saudara-saudaranya yang  berdiri di ruang tamu. Saya masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang mereka katakan pada ibu tapi kata-kata itu sangat hina dan kejam.
Malam yang dingin menusuk disertai hujan rintik-rintik, ibu terusir oleh saudara-saudaranya dengan sekoper baju apa adanya. Ia membopong tubuh saya yang gemuk diantara malam, saya ketakutan tapi ibu sekali lagi tidak peduli dan terus membawa saya berjalan tanpa arah dan tanpa uang sepeserpun. Kami berhenti di sebuah sudut rumah besar yang tidak kami kenal, ibu mungkin kelelahan dan terduduk dengan air mata yang terus berlinang di halaman tersebut.
“ Mama.. Denny mau pulang..!” teriak saya.
Ibu terdiam, ia menghapus air matanya lalu berkata pada saya untuk mencoba tidur. Tapi halaman rumah itu terlalu banyak nyamuk dan bau air got yang menusuk. Saya pun menangis kencang meminta untuk pulang, Ibu sepertinya sudah sangat marah dan ia menampar saya.
“ Dengar.. Mama tidak akan pernah kembali ke rumah itu, jadi kamu jangan berharap kita pulang..!” teriak ibu pada saya.
“ Tapi Denny kedinginan dan banyak nyamuk.. !”
Ibu memeluk saya lalu menutupi saya dengan sisa pakaian yang ia bawa dari kopernya. Saya merasa lebih baik dan ia berkata pada saya, kata-kata itu begitu melekat dalam ingatan saya.
“ Denny dengarkan Mama, berjanjilah pada Mama.. kelak jangan pernah membiarkan orang lain menginjak-injak harga diri kita. Walaupun kita tidak punya uang dan kelaparan tapi jangan pernah biarkan siapapun orang itu menghina kita. Mama janji pada kamu, suatu saat akan membuat kamu menjadi orang besar dan membuktikan pada siapapun bahwa Mama bisa !!”
Saya begitu terkesima dengan kalimat yang ibu saya ucapkan hingga nyaris melupakan rasa gatal gigitan nyamuk. Tapi disinilah saya melihat ketegaran dan tekad ibu saya yang besar kepada saya, saya sadar setiap air mata yang ia jatuhkan bukanlah air mata kesediahan tapi air mata penderitaan. Saya tidak pernah menyadari bahwa kata- kata ibu terasa begitu menyedihkan ketika saya menjadi dewasa dan mengingat kejadian itu.  Kami tertidur di halaman rumah itu seperti gembel saja, saya dan ibu terlihat begitu  menyedihkan tapi itulah sejarah hidup yang tak akan pernah saya lupakan.
Kami pindah ke Makassar.
Dengan berbagai bantuan teman-teman ibu, akhirnya kami bisa mendapatkan uang dan pergi ke Makassar untuk sekali lagi tinggal bersama saudara ibu, Bibi yang pernah menolongnya. Di Makassar ibu hanya sementara tinggal bersama Bibi saya mengingat sepertinya Bibi tidak pernah rela menampung kami dengan ikhlas. Untungnya kami bertemu dengan seorang sahabat kecil ibu yang bernama Tante Ana dan suaminya.  Ia adalah sahabat ibu semasa Sekolah Dasar dulu, mereka sudah menikah sejak tiga tahun lalu namun sayang tidak dikarunia seorang anak.
Ibu menumpang pada keluarga itu cukup lama terlebih kedua orang itu sangat menyukai saya, kehadiran saya dalam keluarga itu seolah mengobati kerinduan mereka terhadap seorang anak. Ibu bekerja seperti dulu menjahit disebuah rumah konveksi, ketika ia bekerja saya dijaga oleh tante Ana yang begitu mencintai dan memanjakan saya. Ibu yang mendapatkan peluang usaha dari uang yang ia kumpulkan dari hasil kerjanya di Konveksi mulai berpikir untuk berdagang baju.
Awalnya ia memberi pakaian yang ia pesan dari Jakarta kemudian dengan sekarung tas besar ia membawa pakaian-pakaian itu untuk dijajahkan di setiap rumah di sekitar Makassar.  Walaupun terasa menyedihkan dan serta kepanasan karena cuaca Makassar yang panas, ibu tidak pernah menyerah. Dalam pikirannya hanya satu ia ingin saya bisa bersekolah setahun mendatang ketika usia saya 6 tahun.  Saya terkadang hanya bisa menahan haru ketika ibu berangkat berdagang setelah mengecup kening saya dan membiarkan Tante Ana mengendong saya.
Terkadang hasil berdagangnya lancar tetapi terkadang juga tidak sama sekali, tapi tekad ibu yang kuat membuat semua dijalankan dengan ikhlas disertai jalan Tuhan. Ia percaya bahwa Tuhan akan memberikan jalan padanya agar bisa menyekolahkan saya, padahal saya  tidak pernah terpikir untuk sekolah dan selalu menghabiskan waktu  ikut dengan suami Tante Ana ke Pasar untuk belajar banyak hal. Tante Ana bersuamikan seorang Preman pasar yang kerjanya menagih upeti dari setiap pedagang.  Jadi saya tidak asing melihat sedikit kekerasan yang ia perlagakan kepada saya.
Suami Tante Ana pandai berkarate dan ia tanpa ragu mengajarkan saya untuk berkarate agar bisa menjaga diri saya, saya yang terinspirasi oleh kisah Superman akhirnya ikut juga dalam setiap ajaran karate yang selalu kami lakukan setiap sore di halaman rumah kami.  Saya menikmati masa-masa kebahagiaan dan kasih saya yang tidak pernah saya dapatkan dari saudara-saudara ibu dari Tante Ana dan suaminya.  Usaha ibu berjalan dengan baik dan ia memutuskan untuk membeli langsung pakaian ke Jakarta, bisa jadi dalam setiap tiga bulan ia pulang pergi kota Jakarta dan Makassar.
Ketika ibu berpergian, Suami Tante Ana yang kebetulan berkeyakinan Muslim mulai mengajarkan saya tentang agama Islam. Saya mulai mengerti sedikit tentang bagaimana Sholat dan membaca Al-Quran, masa-masa itu menjadi masa paling indah saya, mereka sudah seperti orang tua saya yang begitu tulus memberikan kasih sayangnya pada saya. Ibu saya yang semakin sibuk akhirnya malah lebih memutuskan untuk berdagang diluar Kota Makassar dan bisa dalam seminggu ia tidak pulang, tapi saya tidak cemas karena orang tua baru saya ini menjaga saya dengan baik.
Ibu yang sudah mulai memiliki sedikit tabungan mulai berpikir tentang masa depan saya, ia berpikir saya akan hidup lebih baik dengan bersekolah di Jakarta. Ketika ide itu diceritakan kepada Tante Ana dan suaminya, mereka keberatan. Mereka sudah sangat mencintai saya seperti anak kandung dan tidak rela untuk dipisahkan dengan jarak yang begitu jauhnya.  Tapi ibu yang keras kepala tetap berpikir untuk membawa saya ke Jakarta dan sejak itu terjadilah percekcokan antara ibu dan Tante Ana berserta suaminya.
Saya yang tidak mengerti apa-apa pada saat itu hanya bisa diam dan menangis melihat mereka bertengkar. Tante Ana dan suaminya yang sudah tidak rela dengan kepergiaan saya kemudian mengambil keputusan untuk membawa saya pergi tanpa sepengetahuan ibu.  Tiga bulan lamanya saya tinggal di rumah ibu dari tante Ana tanpa pernah bertemu dengan ibu saya. Ketika saya tanyakan tentang keberadaan ibu, tante Ana dan suaminya hanya berkata
“ Mama kamu sedang bekerja di Jakarta.. kamu disini sama Tante saja..” ujar Tante sembari memberikan mainan mobil untuk menghilangkan rasa kangen terhadap ibu saya.
Saya tidak sadar bahwa saya sedang diasingkan dari ibu hingga suatu ketika saat saya sedang membeli kue manisan di jalan dan menemukan ibu yang langsung memeluk saya. Dengan cepat ibu langsung menarik tangan saya menaiki angkutan umum tanpa saya ketahui saya sedang dibawa pergi dari kedua orang tua baru saya. Saya yakin mereka akan panik mencari saya tapi seingat saya ibu sudah mengirimkan pesan pada sebuah warung untuk memberitahu bahwa saya dibawa oleh ibu untuk kembali padanya. Sejak saat itu saya tidak pernah lagi bertemu orang tua baru yang sangat mencintai saya itu selamanya.


(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar