Sabtu, 24 Oktober 2015

The Boy in the Striped Pajamas: Melihat Sejarah yang Kelam Dari Sudut Pandang Anak Kecil

The Boy in the Striped Pajamas (Original title: The Boy in the Striped Pyjamas)
Pict from JuzzyThinks

Childhood is measured out by sounds and smells and sights, before the dark hour of reason grows” -John Betjeman-


Setelah membahas tentang donor darah apheresis, donor darah biasa (whole blood), dan golongan darah rhesus pada posting-posting sebelumnya, kali ini saya akan membahas topik lain, supaya blog saya ini tidak dikira blog milik PMI, hehehehe :P.

Karena hari ini adalah weekend dan banyak orang memerlukan refreshing, saya akan membahas tentang film. Apakah kalian penyuka film bergenre perang? Saya sendiri kurang bisa menikmati adegan-adegan perang dimana para tentara saling tembak-menembak dan terluka. Jika kalian seperti saya, mungkin film ini bisa menjadi alternatif yang menyenangkan saat kalian ingin menonton film bergenre perang: The boy in the striped pajamas.

(Note: maaf ya, post ini tidak bisa dibaca lebih lanjut karena terkena block pada beberapa browser, contohnya pada Opera Mini for BlackBerry. Kemungkinan karena saya beberapa kali menyebut kata holoc**st pada posting ini :P)

Bruno
Pict from EntertainmentWallpaper


Film yang bersetting perang dunia ke-2 ini bercerita tentang Bruno, seorang anak laki-laki polos berumur 8 tahun yang tinggal di Berlin bersama dengan ayah (Ralf), ibu (Elsa), dan kakak perempuannya (Gretel). Ayahnya yang seorang komandan Schutzstaffel (SS) mendapat kenaikan pangkat dan mengharuskannya untuk pindah ke luar kota.

Menyelinap pergi
Pict from Cinemapolis
Didorong oleh rasa bosan karena tidak memiliki teman bermain dan tidak bisa keluar dari kawasan rumahnya yang baru, Bruno yang menyukai petualangan diam-diam menyelinap keluar dari rumahnya. Tanpa sengaja, ia menemukan sebuah kamp konsentrasi pada era perang dunia ke-2 Jerman dan bertemu dengan seorang anak laki-laki yang seumuran dengannya, Shmuel. Bruno berpikir bahwa Shmuel dan orang-orang lain yang berada di balik pagar bertegangan listrik itu aneh, karena mereka semua menggunakan piyama bergaris saat bekerja. Bruno mengira bahwa kamp tersebut adalah sebuah peternakan, dan pagar bertegangan listrik tersebut digunakan untuk mencegah hewan keluar dari peternakan tersebut. Bruno yang tidak tau bahwa ayahnya adalah seorang komandan Nazi yang bertanggung jawab atas kamp tersebut dan Shmuel adalah seorang tawanan Yahudi, memulai persahabatannya dengan Shmuel.

Hari-hari berikutnya, setelah seorang tutor yang disewa ayahnya mempropagandanya tentang nazi, dan peristiwa saat ayahnya membiarkan seorang ajudannya memukuli seorang pelayan Yahudi yang ada di rumahnya terjadi, Bruno mulai merasa bingung. Apakah benar semua orang Yahudi adalah orang yang jahat? Apakah ia dan Shmuel tidak boleh bersahabat? Apakah ayahnya adalah orang yang baik?

Pict from Quotesgram

Walaupun tidak pernah menyebutkan lokasi, beberapa orang (terutama orang-orang yang telah membaca novel The Boy in the Striped Pajamas sebelumnya) menerka bahwa kamp yang digambarkan dalam film ini adalah kamp konsentrasi Auschwitz, yang benar-benar ada di kota Oswiecim di Polandia.

Semboyan yang ada di depan gerbang utama kamp Auschwitz, “Arbeit Macht Frei” yang berarti “kerja dapat membebaskan”. Pict from DW
Kamp Auschwitz yang dibangun tahun 1940 merupakan kompleks tahanan kerja paksa dan pemusnahan etnis yang memiliki 6 kamar gas dan 4 krematorium. Kamp ini dulu dihuni oleh intelektual dari Polandia, tahanan perang dari Uni Sovyet, kaum Yahudi dari seluruh Eropa, kaum homoseksual, para penentang rezim nazi, serta kaum Gypsy atau Sinti dan Roma yang oleh rezim Nazi dinilai sebagai bangsa berkasta rendah. Sebagian besar dari tawanan penghuni kamp wafat karena disiksa dan dimasukkan ke kamar gas. Ada juga beberapa dari mereka yang wafat karena sakit, kurang makan, atau terinjak-injak saat dibawa ke kamp tersebut. Para tahanan yang wafat ditumpuk dan dikremasi. Bahkan para beberapa orang tahanan yang masih hidup saat itu tidak memiliki pilihan selain membantu “membereskan” tubuh-tubuh tawanan yang telah wafat.

Menurut saya, film ini sukses menampilkan setting sebuah sejarah yang kelam dengan penggambaran yang konsisten dan berkelas, benar-benar menyuguhkan cerita dari sudut pandang anak-anak dan tidak menampilkan adegan kekerasan secara langsung (well, walaupun ada beberapa adegan pembentakan, tapi menurut saya itu perlu untuk sedikit menampakkan pembedaan kasta yang ada pada masa itu). Selain itu, film ini juga sukses membuat penontonnya yang belum tau tentang sejarah nazi terdorong untuk mencari tau tentang sejarah setting ini :D. Karena film ini menggunakan perspektif anak kecil, tanpa mengetahui sejarah, penontonnya akan dibuat sedikit bingung dengan beberapa adegan di dalam film.

Jadi bila kalian tertarik ingin menontonnya, saya sarankan untuk membaca sedikit sejarah tentang holocaust di sini. Karena tema yang diangkat sedikit berat, menurut saya lebih baik menontonnya saat sore hari, tidak di pagi hari yang cerah dan ceria :P.

Selain itu perlu diperhatikan, bahwa film ini memiliki rating PG-13 (untuk yang belum mengerti sistem rating di AS oleh MPAA bisa baca-baca di sini). Rating PG-13 adalah peringatan tegas dari dewan penilaian MPAA kepada para orang tua untuk menentukan apakah anak-anak mereka yang berumur di bawah 13 tahun boleh menonton film tersebut atau tidak, karena beberapa konten di film tersebut mungkin tidak baik untuk mereka. Mungkin Film The Boy in the Striped Pajamas tidak menampilkan kekerasan secara langsung,namun ada beberapa adegan seseorang yang berteriak dengan keras dan tidak sopan, serta ada adegan yang secara tersirat menggambarkan sebuah pemukulan. Belum lagi tema holocaust yang ada di film ini. Mungkin ada beberapa anak di bawah 13 tahun yang tidak paham, tapi kemungkinan besar mereka akan bertanya dan sulit bagi orang tua untuk menjelaskan hal yang kejam tersebut. Jadi ya lebih baik tunggu sampai kalian berumur lebih dari 13 tahun dan awasi sekeliling kalian apakah ada orang yang berumur di bawah 13 tahun ikut menonton film tersebut atau tidak ^^.

Untuk teman-teman yang pernah atau sedang atau tertarik dengan mata kuliah apresiasi film, The Boy in the Striped Pajamas menurut saya adalah sebuah film yang sangat menarik untuk diapresiasi.

Apresiasi film, apa itu?

Apresiasi film adalah sebuah kegiatan menganalisa sebuah film dalam rangka memberikan penghargaan atau menghargai (apreciate) film tersebut. Untuk pembahasan lebih jelasnya bisa cak blog salah satu dosen cantik jurusan saya di sini ;).

Ketika mengapresiasi kita dituntut untuk minimal menonton dua kali, karena tiap kali menonton kita akan mendapatkan pengalaman yang berbeda. Setelah membaca sekilas setting sejarah yang digunakan, menonton untuk menikmati film, dan menonton lagi untuk mencermati film, kalian akan menemukan nilai-nilai baru yang menarik.

Dari membaca, kita jadi tau mengapa Ralf marah dengan Kotler (ajudan Ralf) saat makan malam bersama. Ternyata pada zaman itu, beberapa orang Jerman yang menolak rezim nazi memilih untuk beremigrasi ke negara-negara lain yang netral dan tidak terlibat perang. Salah satu negara tujuan beberapa orang pada saat itu adalah Switzerland alias Swiss. Dan ceritanya, ayah Kotler memang tidak pro terhadap Nazi dan memilih beremigrasi ke Swiss. Saat itu Ralf marah dan menuduh Kotler menolak untuk berkontribusi pada kebangkitan bangsanya kembali, karena tidak melaporkan ayahnya yang beremigrasi ke Swiss.

Dari kegiatan apresiasi film, kita bisa menyayangkan hujan yang ditampilkan pada bagian akhir film tampak tidak natural atau real. Tapi dari apresiasi film kita juga bisa menghargai betapa elegannya adegan-adegan lain yang diciptakan oleh sang penulis dan sutradara. Seperti saat menggambarkan adegan pemukulan Pavel (seorang pelayan Yahudi di rumah Ralf) oleh Kotler dengan “elegan”. Adegan pemukulan tidak ditampakkan secara langsung, lalu beberapa saat kemudian ditampilkan Maria (pelayan di rumah Ralf) sedang membersihkan lantai tempat Pavel dipukuli sebelumnya, untuk menggambarkan bahwa pavel dipukuli hingga berdarah-darah.

Selain itu mereka juga tidak menampakkan adegan “ngobrol tentang apa yang terjadi pada tikus yang mencuri” antara Shmuel dan Kotler. Mereka hanya menampakkan Shmuel yang tidak tampak selama beberapa hari berikutnya, dan menampakkan luka pada mata kanannya saat akhirnya Bruno dapat bertemu Shmuel kembali.

Pada film ini, kita diajak melihat sekeping potongan sejarah pada rezim Nazi yang kejam dari kacamata seorang Bruno yang masih polos. Tidak ada adegan pemukulan yang tersorot. Tidak ada darah yang menggenang. Tidak ada mayat yang menggunung. Bahkan saat adegan holocaust di kamar gas, film ini menggambarkannya tanpa teriakan ataupun sesuatu yang mengerikan, namun cukup kuat untuk menyentuh hati nurani kita. Benar-benar film yang keren untuk ditonton bukan? J


***********


The Boy in the Striped Pajamas
Rating     : PG-13 (untuk beberapa materi bertema dewasa termasuk holocaust)
Durasi     : 94 menit
Release   : 2008
Genre      : Drama, perang
Sutradara: Mark Herman
Penulis    : Mark Herman (screenplay), John Boyne (novel)
Pemeran  :
  • Asa Butterfield sebagai Bruno
  • Vera Farmiga sebagai ibu (Elsa)
  • David Thewlis sebagai ayah (Ralf)
  • Amber Beattie sebagai kakak perempuan (Gretel)
  • Jack Scanlon sebagai Shmuel
  • Rupert Friend sebagai Lieutenant Kotler
  • David Hayman sebagai Pavel
  • Cara Horgan sebagai Maria

Rating     : 6,2 dari 10 di Rotten Tomatoes
                  7,8 dari 10 di Internet Movie Database (IMDb)

PENGHARGAAN

British Independent Film Awards 2008

Won
British Independent Film Award
Best Actress
Vera Farmiga 
Nominated
British Independent Film Award
Most Promising Newcomer
Asa Butterfield 
Best Director
Mark Herman 


Chicago International Film Festival 2008

Won
Audience Choice Award
Tied with Slumdog Millionaire (2008).


CinEuphoria Awards 2010

Won
CinEuphoria
Top Ten of the Year - International Competition
Mark Herman 
Best Film - Audience Award
Mark Herman 
Best Supporting Actress - Audience Award
Vera Farmiga 
Top Ten of the Year - Audience Award
Mark Herman 


German Dubbing Awards 2010

Won
German Dubbing Award
Outstanding Newcomer Performance
Lukas Schust 
For Slumdog Millionaire
For dubbing Dev Patel as Jamal K. Malik and Asa Butterfield as Bruno.


Goya Awards 2009

Nominated
Goya
Best European Film (Mejor Película Europea)
Mark Herman 


International Film Music Critics Award (IFMCA) 2008

Nominated
IFMCA Award
Best Original Score for a Drama Film
James Horner 


Irish Film and Television Awards 2009

Nominated
IFTA Award
Best International Film


London Critics Circle Film Awards 2008

Nominated
Young British Performer of the Year


Young Artist Awards 2009

Nominated
Young Artist Award
Best Performance in an International Feature Film - Leading Young Performers
Asa Butterfield 
Jack Scanlon 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar